BAB I
PENDAHULUAN
Berangkat dari pemikiran yang menjadi issue
para pencari keadilan terhadap problema yang paling sering menjadi diskursus
adalah mengenai persoalan keadilan dalam kaitannya dengan hukum. Hal ini
dikarenakan hukum atau suatu bentuk peraturan perundang-undangan.[1]
yang diterapkan dan diterimanya dengan pandangan yang berbeda, pandangan yang
menganggap hukum itu telah adil dan sebaliknya hukum itu tidak adil.
Problema demikian sering ditemukan dalam kasus
konkrit, seperti dalam suatu proses acara di pengadilan seorang terdakwa
terhadap perkara pidana (criminal of justice) atau seorang tergugat
terhadap perkara perdata (private of justice) maupun tergugat pada
perkara tata usaha negara (administration of justice) atau sebaliknya
sebagai penggugat merasa tidak adil terhadap putusan majelis hakim dan
sebaliknya majelis hakim merasa dengan keyakinanya putusan itu telah adil
karena putusan itu telah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan hukum yang
tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Teori pembuktian berasarkan
Undang-Undang Positif
(Positif Wettwlijks theorie).[2]
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia
diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk
mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang
memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan
yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.[3]
Orang dapat menggangap keadilan sebagai suatu
hasrat naluri yang diharapkan bermanfaat bagi dirinya. Realitas keadilan
absolut diasumsikan sebagai suatu masalah universal yang berlaku untuk semua
manusia, alam, dan lingkungan, tidak boleh ada monopoli yang dilakukan oleh
segelintir orang atau sekelompok orang. Atau orang mengganggap keadilan sebagai
pandangan individu yang menjunjung tinggi kemanfaatan yang sebesar-besarnya
bagi dirinya. Jika demikian
bagaimana pandangan keadilan menurut kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang
berlaku umum yang mengatur hubungan manusia dalam masyarakat atau hukum positif
(Indonesia).[4] Secara
konkrit hukum adalah perangkat asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan
antar manusia dalam masyarakat, baik yang merupakan kekerabatan, kekeluargaan
dalam suatu wilayah negara. Dan masyarakat hukum itu mengatur kehidupannya
menurut nilai-nilai sama dalam masyarakat itu sendiri (shared value)
atau sama-sama mempunyai tujuan tertentu. [5]
Dalam makalah ini, penulis akan meguraikan
persoalan keadilan dalam perspektif hukum nasional. Dalam pandangan hukum
penulis hanya akan menguraikan teori-teori keadilan John Rawl . Sedangkan dalam persfetif hukum
nasional Indonesia, penulis akan menguraikan teori-teori yang berhubungan
dengan cita negara (Staatsidee) sebagai dasar filosofis bernegara (Filosofiche
grondslag), yang termaktub dalam Pancasila sebagai sumber hukum nasional.[6]
BAB II
TEORI KEADILAN DALAM PANDANGAN PARA PAKAR DAN
PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL
A. Teori-teori
Keadilan Dalam Pandangan Hukum
Teori-teori
Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan
sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam
mengutamakan “the search for justice”.[7] Berbagai macam
teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut
hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara
teori-teori itu dapat disebut : teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean
ethics dan teori keadilan sosial John Rawl dalam bukunya a theory of
justice dan teori hukum dan keadilan Hans Kelsen dalam bukunya general
theory of law and state.
Teori Keadilan
John Rawls
Beberapa
konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir abad ke-20, John
Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The Law
of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap
diskursus nilai-nilai keadilan.[8]
John
Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social
justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya
institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan
bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa
keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya
masyarakat lemah pencari keadilan.[9]
Secara
spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan
dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal dengan “posisi
asali” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of
ignorance).[10]
Pandangan
Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap
individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau
memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu
pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah
pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asasli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium
reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality),
kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur
struktur dasar masyarakat (basic structure of society).
Sementara
konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John Rawls bahwa setiap
orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya
sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga
membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah
berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh
prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice as
fairness”. [11]
Dalam
pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asasli” terdapat prinsip-prinsip
keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama
atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan
atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.
Prinsip
pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty
principle), seperti kebebasan beragama (freedom of religion),
kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan
mengemukakan ekpresi (freedom of speech and expression), sedangkan
prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle),
yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity
principle).
Lebih
lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan bahwa program
penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua
prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.
Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga
dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.[12]
Dengan
demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat
sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama
kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang
yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan
untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi
ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi
sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan
harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan
untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
B. Perspektif Keadilan Dalam Hukum Nasional
Pandangan
keadilan dalam hukum nasional bersumber pada dasar negara. Pancasila sebagai
dasar negara atau falsafah negara (fiolosofische grondslag) sampai
sekarang tetap dipertahankan dan masih tetap dianggap penting bagi negara
Indonesia. Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai
Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang
berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan, dan
yang berkeadilan sosial.
Sebagai
pendukung nilai, bangsa Indnesialah yang menghargai, mengakui, serta menerima
Pancasila sebagai suatu bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan
Pancasila sebagai sesuatu yang bernilai itu akan tampak merefleksikan dalam
sikap, tingkah laku, dan perbuata bangsa Indonesia. Kalau pengakuan,
penerimaan, atau penghargaan itu direfleksikan dalam sikap, tingkah laku, serta
perbuatan manusia dan bangsa Indonesia dalam hal ini sekaligus adalah
pengembannya dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia Indonesia. Oleh
karenanya Pancasila sebagai suatu sumber hukum tertinggi secara irasional dan
sebagai rasionalitasnya adalah sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia.
Pandangan
keadilan dalam hukum nasional bangsa Indonesia tertuju pada dasar negara, yaitu
Pancasila, yang mana sila kelimanya berbunyi : “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah yang dinamakan
adil menurut konsepsi hukum nasional yang bersumber pada Pancasila.
Menurut
Kahar Masyhur dalam bukunya mengemukakan pendapat-pendapat tentang apakah yang
dinamakan adil, terdapat tigal hal tentang pengertian adil. [13]
(1)
“Adil” ialah :
meletakan sesuatu pada tempatnya.
(2)
“Adil” ialah :
menerimahak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang.
(3)
“Adil” ialah :
memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang
antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat
atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran”.
Untuk
lebih lanjut menguraikan tentang keadilan dalam perspektif hukum nasional,
terdapat diskursus penting tentang adil dan keadilan sosial. Adil dan keadilan
adalah pengakuan dan perlakukan seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada
pengakuan dan perlakukan yang seimbang hak dan kewajiban, dengan sendirinya
apabila kita mengakui “hak hidup”, maka sebaliknya harus mempertahankan hak
hidup tersebut denga jalan bekerja keras, dan kerja keras yang dilakukan tidak
pula menimbulkan kerugian terhadap orang lain, sebab orang lain itu juga
memiliki hak yang sama (hak untuk hidup) sebagaimana halnya hak yang ada pada
diri individu.[14]
Dengan
pengakuan hak hidup orang lain, dengan sendirinya diwajibkan memberikan
kesempatan kepada orang lain tersebut untuk mempertahankan hak hidupnya.
Konsepsi
demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber
hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya menginstruksikan agar
senantiasa melakukan perhubungan yang
serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya
sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab.
Hubungan
adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar
maka cahayanya pun terang : jadi bila peradabannya tinggi, maka keadilanpun
mantap.[15]
Lebih
lanjut apabila dihubungkan dengan “keadilan sosial”, maka keadilan itu harus
dikaitkan dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat
diartikan sebagai : [16]
“(1)
Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak.
(2) Menumpas
keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-pengusaha.
(3)
Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu,
pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah yang didapatnya dengan tidak wajar”.
Sebagaimana
diketahui bahwa keadilan dan ketidakadilan tidak dapat dipisahkan dari hidup
dan kehidupan bermasyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai orang
yang “main hakim sendiri”, sebenarnya perbuatan itu sama halnya dengan
perbuatan mencapai keadilan yang akibatnya terjadi ketidakadilan, khususnya
orang yang dihakimi itu.
Keadilan
sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang
berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebebasan individunya untuk
kepentingan Individu yang lainnya
Hukum
nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan
didalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau
menselaraskan keadilan-keadilan yang bersifat umum diantara sebagian dari
keadilan-keadilan individu. Dalam keadilan ini lebih menitikberatkan pada
keseimbangan antara hak-hak individu masyarakat dengan kewajiban-kewajiban umum
yang ada didalam kelompok masyarakat hukum.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagai bagian
bab terakhir dari pembahasan makalah ini, perlu dikemukakan beberapa kesimpulan
dan saran sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1.
Teori keadilan
menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui hukum yang ada..
John
Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa maka program penegakan
keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip
keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan
dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua,
mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat
memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi
setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak
beruntung. John Rawl terhadap konsep “posisi asasli” terdapat prinsip-prinsip
keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama
atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan
atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.
B. Saran
1. Untuk mencapai perspektif keadilan dalam hukum
nasional yang paling utama diperlukan pemahaman dan kesadaran terhadap hak dan
kewajibannya sebagai warga negara, oleh karenanya sikap, perbuatan untuk
menempuh kebahagian dan kesejahteraan pada individulah perlu ditanamkan lebih
dulu.
2. Antara hukum dan keadilan bagaikan dua mata
pisau yang tajam yang berlawanan, tidak pernah menyatu, oleh karenanya
diperlukan suatu materi peraturan hukum nasional yang dapat mengharmonisasikan
antara hukum dan keadilan.
Daftar Pustaka
A.Hamid S. Attamimi, Dikembangkan oleh Maria Farida Indrati S, dari Perkuliahan Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta, Kanisius, 2007.
Lihat, Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Edisi
Revisi, Jakarta, Sinar Grafika, , 1996.
Carl Joachim Friedrich,
Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, 2004.
Mochtar Kusumaatmadja
dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang
Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,
Bandung, Alumni, 2000.
TAP MPR-RI No. III/MPR/2003.
Theo Huijbers, Filsafat
Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta: kanisius, 1995 hlm.
196.
Pan Mohamad Faiz, Teori
Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor 1 (April 2009).
John Rawls, A Theory
of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan
dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.
Kahar Masyhur, Membina
Moral dan Akhlak, Jakarta, Kalam Mulia, 1985.
Suhrawardi K. Lunis,
Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2000.
Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Jakarta, Rajawali,
1982.
[1] Lihat, A.Hamid
S. Attamimi, Dikembangkan oleh Maria Farida Indrati S, dari Perkuliahan Ilmu
Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta, Kanisius,
2007.
[2] Lihat, Andi
Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia,
Edisi Revisi, Jakarta, Sinar Grafika, , 1996, hlm. 251.
[3] Carl Joachim
Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal 239.
[4] Mochtar
Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 2000, hlm. 4.
[6] Lihat, TAP
MPR-RI No. III/MPR/2003.
[7] Theo Huijbers,
Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta: kanisius,
1995 hlm. 196.
[8] Pan Mohamad
Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor
1 (April 2009), hlm. 135.
[9] Ibid,
hlm. 139-140.
[10]
Ibid.
[11]
Ibid.
[12] John Rawls, A
Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori
Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.
[13] Kahar Masyhur,
Membina Moral dan Akhlak, Jakarta, Kalam Mulia, 1985, hlm.71.
[14] Suhrawardi K.
Lunis, Etika Profesi Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2000, hlm.
50.
[15] Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum,
Jakarta, Rajawali, 1982, hlm.83.
[16] Kahar Masyhur,
Loc. Cit, hlm. 71.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar