Selasa, 08 September 2015

Jomblo harus REVOLUSIONER

Siapa yang tak kenal Tan Malaka? Mungkin jawabannya cuma dua. Pertama, orang yang mati sebelum Tan lahir. Kedua, orang yang tinggal di planet Pluto yang katanya sudah keluar dari orbit tata surya. Bagaimana dengan jomblo? Jomblo yang tak tahu Tan sama sekali, bisa jadi kupingnya tertinggal di abad 19. Atau dengan kata lain, kupingnya bersemayam di kuburan orang-orang yang meninggal sebelum Tan ada. Kalau toh hidup di zaman sekarang, mungkin ia jomblo yang sisi kiri dan kanan kepalanya rata tak berlubang. Ya, minimal ia adalah jomblo yang kurang piknik. Maka pantaslah ia tak punya kekasih. Jomblo macam ini, jangankan pasangan, anjing pun bisa menggonggong kalau melihatnya. Tan Malaka asli berdarah Minang. Tempatnya belajar dan mendapat gelar dari sesepuh kampungnya. Sejak muda, ia melanjutkan pendidikannya ke Belanda dan pulang kembali dengan satu tekad: memerdekakan bangsanya. Orang berdarah Minang yang satu ini, sangatlah revolusioner totok. Pikirannya sangat khas marxis sekaligus nasionalis yang kental, (bahkan) sekental bumbu masakan Padang. Soal karya, jangan diragukan. Ia telah melahirkan karya-karya penting yang mengundang decak kagum seorang Harry Albert Poeze. Sebut saja Madilog, Massa Actie, Gerpolek, Dari Penjara ke Penjara, Semangat Muda, bahkan ia menjadi pribumi nomor wahid yang merumuskan konsep republik dalam Naar de Republik Indonesia tahun 1925. Jauh lebih dulu ketimbang Indonesia Vrije (1928) karya Hatta dan Menuju Indonesia Merdeka (1930) karya Bung Karno. Di samping itu pula, kalimat terakhir dalam Massa Actie membuat W.R. Supratman mencantumkan lirik “Indonesia tanah tumpah darahku …” dalam lagu Indonesia Raya. Tahukah kau? Ia jomblo. Tak pernah memiliki pasangan, sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan. Mungkin Pram akan bilang begitu. Orang yang sepanjang hidupnya hanya memikirkan bagaimana caranya menutup buku kolonialisme rapat-rapat dari bangsanya. Setiap hembusan napas hanyalah napas proklamasi. Bahkan bisa jadi ketika sakratul maut, ia tak menyebut kalimat syahadat dan tahlil, tapi, “Bangsaku, bangsaku, bangsaku!”. Tak pernah terdengar sedikit pun kisah percintaannya, bahkan dari buku-buku sebanyak enam jilid milik Poeze. Mungkin baginya, rasa ingin memiliki pasangan hanyalah suara sumbang yang kalah merdu dengan kebebasan tanah airnya. Ia adalah jomblo sejati. Jomblo yang berpikir dialektis, tak hanya bersandar sempit pada pilihan memiliki pasangan atau tidak. Kesendirian bukan untuk diratapi. Tapi itu merupakan pilihan untuk mencapai kebebasan seutuhnya. Dengan kebebasan, pikiran-pikiran liar, revolusioner, dan jauh ke depan akan tercapai. Dan itu lebih berguna bagi kemanusiaan, ketimbang hanya pada satu orang pasangan. Jomblo-jomblo tanah air harus belajar pada Tan Malaka. Harus memahami dan mengamalkan ajarannya, bagaikan umat Muslim yang mencontoh Nabi Muhammad. Tapi, jangan seperti binatang. Mau sampai kiamat pun, kerjaannya copy-paste utuh diri induknya. Nanti bisa jadi jomblo fundamentalis yang tekstual dan cenderung berprilaku radikal. Bahaya itu! Artinya, pada saat Tan hidup, waktu itu zaman revolusi. Kebebasan baginya adalah kemerdekaan tanah air. Dan jomblo adalah gerbangnya. Namun sekarang, di masa globalisasi, jomblo haruslah bebas sesuai dengan dinamisasi bentuknya. Lupakan tradisi-tradisi lama yang menyebut seseorang yang sukses adalah yang memiliki pasangan. Tutup telinga kanan-kiri dari celoteh omong-kosong Mario Teguh. Jadikan jomblo sebagai kebebasan menuju seseorang yang revolusioner, jauh berpandangan ke depan, demi bangsa dan kemanusiaan. Contohlah Tan Malaka, Si Jomblo yang Revolusioner. Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar