Kamis, 04 Juni 2015

Biografi dan Pemikiran Hasan At-Turobi

Maka ingatkanlah dia akan rasa takutnya.
Jika anda menginginkan dia maju,
Maka bangkitkanlah harapannya kepada Allah.
Rasa takut dan harapan adalah
Dua cabang iman yang saling melengkapi. (Al-Turabi)

Setiap agama langit, secara primer atau secara esensial, tentu mendasarkan ajaran-ajarannya pada wahyu dan ilham. Dari wahyu dan ilhamlah agama samawi lahir, dan karena kemukjizatan wahyu dan ilhamlah ia menang, bahkan berdasarkan ajaran-ajaran wahyu dan ilhamlah segala kaidah dan sendinya berdiri tegak. Seorang Nabi tidak lain hanyalah manusia biasa yang diberi kekuatan untuk dapat berhubungan dengan Tuhan dan mengekspresikan kehendak-Nya. Agama Islam seperti halnya dengan agama-agama semit lainnya, mengambil ajaran-ajarannya dari langit dan sumber-sumbernya yang utama adalah al-Kitab sebagai wahyu yang langsung dan as-Sunnah sebagai wahyu yang tidak langsung. Sebagaimana firman Allah:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى. عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى(النجم: 3-5)
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat,” (QS. An-Najm: 3-5)
Oleh karena itu, barang siapa yang mengingkari wahyu berarti ia menolak Islam secara keseluruhannya, atau sekurang-kurangnya merobohkan sendi-sendi yang utama dan fundamental. Bahkan tindakan itu merupakan pelanggaran terkutuk.
Zaman terus berkembang, kehidupan manusia terus berlangsung, begitu juga dengan permasalahan yang dihadapinya. Sedangkan al-Qur’an telah final dan Rasullah Saw., telah wafat, maka demi menjawab semua permasalahan tersebut diperlukan usaha pembaruan dalam agama. Di mana pintu ijtihad harus dibuka selebar mungkin, sehingga agama tidak hanya menjadi dokrin yang ada dalam tataran teori dan sesuatu yang sacral dan tak tersentuh, melainkan agama hadir sebagai kebutuhan manusia. Dalam perjalanan selanjutnya banyak tokoh bermunculan guna memberikan kontribusinya dalam rangka membangunkan msyarakat yang selama ini dalam masa kemunduran dan kejumudan serta yang tertidur manis yang mendambakan datangnya kembali the golden age of muslim. Akan tetapi dambaan tersebut tidak akan tercapai jika hanya dengan berdiam diri tanpa gerakan dan pemikiran yang baru yang mampu menyelesaikan semua aspek kehidupan. Di antara tokoh pemikir kontemporer yang mencoba untuk menciptakan kembali the golden of muslim adalah pemikir asal Sudan yang mungkin sangat berbeda sekali dengan beberapa pemikir muslim lainnya, dia adalah Hasan al-Turabi.

1. Biografi Hasan al-Turabi

Hasan Turabi lahir di Kassala, Sudan Timur pada tahun 1932. dia berasal dan tumbuh dari keluarga yang memiliki tradisi panjang dalam pengajaran Islam dan sufisme. Dalam bidang pendidikan, dia berhasil menyelesaikan pendidikan Strata Satu di fakultas hukum di Universitas Khartoum pada tahun 1955, kemudian dia juga berhasil menyelesaikan S-2 dalam bidang hukum di London pada tahun 1957, dan pada tahun 1964 dia memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang hukum tata negara dari universitas Sorbonne, Paris. Pada waktu menetap di Prancis, yaitu antara tahun 1959-1964, dia pernah melakukan kunjungan ke Amerika.[1]
Dalam bidang akademik, dia pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum, Universitas Khartoum, akan tetapi jabatan tersebut tidak lama, karena jabatan itu kemudian ditinggalkannya, hal ini dikarenakan dia menjadi anggota Parlemen dan Sekretaris Jenderal Islamic Charter pada bulan Desember 1964. pada tahun 1969, setelah berlangsungnya upaya kudeta oleh kaum kiri, pertama kali dia mendekam dipenjara Sudan hingga tahun 1977, di tahun ketika dia memilih Perjanjian Rekonsiliasi Nasional dengan Nimeiri. Dia menjadi jaksa agung dari tahun 1979 hingga 1982 dan menjadi kepala penasehat masalah-masalah hukum dan luar negeri hingga maret 1985. dia dan pemuka-pemuka gerakan Islam lainya kemudian dijebloskan ke penjara, dan hanya dibebaskan ketika rezim Nimeiri jatuh.
Pada 1988, Front Nasional Islam (NIF) yang dipimpin oleh Hasan al-Turabi berkoalisi dengan pemerintahan Shadiq al-Mahdi dan mengantarkannya menjadi Jaksa Agung, lalu Deputi Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri. Dia juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kongres Islam Khartoum yang beranggotakan partai-partai, kelompok-kelompok, dan tokoh-tokoh gerakan Nasionalis Islam yang berasal dari 55 negara Muslim dan Barat. Sejak pemilu 1996, dia menjabat sebagai ketua parlemen, yaitu suatu kedudukan kedua yang paling berkuasa di negerinya sesudah presiden yang dijabat oleh Jenderal Umar al-Basyir, “junior”-nya di partai NIF. Di sisi lain, Umar al-Basyir menginginkan agar Sudan berdiri sendiri tanpa bergantung kepada negara lain. Sedangkan Hasan al-Turabi menginginkan kerjasama negara-negara di era globalisasi.
Pada Februari 2001, dia ditahan atas tuduhan berkhianat kepada negara. Sebagai pemimpin partai oposisi Popular Nasional Congres (PNC), dia telah menandatangani kesepakatan saling pengertian dengan John Garang De Mabior, yaitu seorang pemimpin Gerakan Pemberontak Kristen Bersenjata Di Sudan Selatan SPML/A (Sudan People’s Liberation Movement/ Army). Tuduhan ini kurang bukti sehingga lebih dari delapan belas bulan pengadilan belum membuka kasusnya. Orang kemudian percaya bahwa alasan penahanannya adalah karena dia dianggap cukup “mengganggu” pemerintahan al-Basyir. Akan tetapi meskipun dia di penjara, banyak kalangan yang percaya bahwa dia adalah pemimpin Sudan yang sebenarnya sejak berdirinya Republik Islam Sudan.
Al-Turabi dipandang sebagai tokoh gerakan Islam internasional dan salah seorang pemikirnya yang terkemuka. Kontribusi karya-karyanya dalam pemikiran Arab hingga Islam modern berawal dariWomen In Islam dan The Prayer yang terbit diakhir 1960-an, dan The Islamic Movement In Sudan(1989). Disamping itu, karyanya yang berbahasa Arab di antaranya adalah Al-Iman wa Atsaruha fi Al-HayatAl-Muslim Baina Al-Wujdan wa Al-SultanTajdid Al-Fikr Al-Islami dan Al-Wihdah wa Al-Dimukratiyyah wa Al-Fann dan Qadaya at-Tajdid. Adapun makalahnya tentang kaum perempuan dan kedudukan komunitas non-muslim di negara-negara Islam telah diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Inggris. Dia juga menyumbang satu bab tentang negara Islam untukIslam and Development, sebuah buku yang disunting oleh John L Esposito. Semasa di penjara, dia menyelesaikan The Political Vocabulary Of Islam.

2. Pemikiran Hasan al-Turabi

Agama Islam dewasa ini membutuhkan pembaharuan yang bukan hanya berangkat dari spirit emosional, melainkan pembaruan dengan sarananya yang berupa pendidikan agama. Kita harus membidik manusia tentang nilai-nilai iman yang benar yang dapat melahirkan suatu konsep pemikiran baik berupa politik, ekonomi, dan budaya yang mampu mampu menerapkan hukum-hukum agama.
Pembaharuan agama yang kita butuhkan dewasa ini hendaklah melalui tiga tahapan, yaitu:
v Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah yang disinari oleh tradisi, khazanah warisan dan pengalaman para salafus saleh.
v Mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dengan ilmu rasional, ekonomi, humaniora dan fisika.
v Mengaitkan pemikiran dengan realitas.
a. Ushul Al-Din, Salafiyah dan Pembaruan
Sejatinya sebuah pembaruan bukan berarti musnahnya yang lama beserta isinya. Akan tetapi, materinya masuk ke dalam bentuk yang baru. Hal inilah keadaan agama sejak disyari’atkan oleh Allah senantiasa mengalami pembaruan yang menghubungkan yang awal dengan yang terakhir, meskipun risalah-risalah silih berganti datang mengisahkan risalah sebelumnya dan memberikan kabar gembira tentang risalah setelahnya serta membangun kebenaran yang tetap di atas dasar-dasarnya. Dan ketika Allah menyempurnakan pengajaran manusia, sejarah memelihara risalah terakhir dengan syari’at yang lengkap dan abadi.
Selama ini, pembicaraan berkenaan dengan syar’u man qablana hanya terpaku pada deskripsi tentang perbedaan pendapat seputar kehujjahannya dalam hukum-hukum cabang, sebab syari’at yang terdahulu merupakan permulaan bagi gerakan kita menuju Allah. Oleh Karena itu, Rasulllah Saw., berpegang pada apa yang beliau ketahui dari syari’at itu, sehingga datanglah kepadanya wahyu yang membenarkan. Di dalam pembenaran, ada pembaruan yang menghidupkan kekuatan lama yang masih menjadi sebab yang relevan untuk tujuan beribadah kepada Allah, dan di dalam penghapusan ada pembaruan yang mengembangkan sebab-sebab ibadah, dan didalam kisah-kisah ada hikmah yang dapat dipetik dari kebaikan amal para salaf sebagai contoh dan teladan dan dari kejelekan amal mereka sebagai pelajaran dan nasehat sebagaimana Allah berfirman:
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (هود: 120)
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Huud: 120)
Pada dasarnya, dalam memahami al-Qur’an tidaklah sempurna kecuali dengan mengkaji kembali syari’at-syari’at umat terdahulu, dan melalui kajian yang lengkap mengenai as-Sunnah yang menjelaskan al-Qur’an dengan ucapan dan amal perbuatan nabi Muhammad Saw. Memahami sunnah nabi tidaklah cukup hanya mengkaji hadis-hadis yang samapi kepada Rasulullah Saw., saja, sebab amalan para sahabat adalah perpanjangan tangan yang tidak terputus dari masa penurunan wahyu, bahkan kemajuan ke arah yang sama dengan sunnah yang perlu dipelajari – agar sunnah dapat dipelajari dengan baik. dengan demikian, kita tidak bisa memahami masa lalu kecuali dalam konteks masa yang datang setelahnya. Dari sini muncullah kesatuan umat Islam sepanjang sejarah karena mereka merupakan rangkaian yang bersambung dan menuju kepada konsep-konsep keagamaan yang sama.[2]
Dalam sejarah kebudayaan Islam, para ulama salaf berpegang pada idealitas akidah dan syari’at yang asli dan berusaha mengimplementasikannya melalui cara-cara baru. Mereka tidak tertutup oleh bentuk-bentuk kesejarahan yang kadang-kadang mengalami kadaluarsa dan kesalahan.keoriginalitasan mereka tidak dari sisi kolektivitas buidaya dalam menghadapi prinsip-prinsip, tetapi dari sisi sensivitasnya secara teoritis dan praktis sebagaimana sensitifnya kurun waktu pertama. Akan tetapi berbeda dengan aliran yang bernama salafismeyang memandang agama sebagai yang tampak dalam sejarah orang-orang beragama. Mereka bertaklid kepada kaum salaf bukan dalam metodologi dan tradisi utamanya, melainkan dalam bentuk upaya tertentu mereka. Mereka memandang generasi sahabat, tabi’in dan para imam fiqh bukan dalam perspektif keberagamaan mereka dengan berijtihad, melainkan meniru ucapan dan amal perbuatan mereka secara harfiah dan memandang peniruan itu bukan pada melampaui metode mereka menuju Allah, melainkan berhenti hanya sebatas pada generasi kurun awal dan tujuannya. Mereka tidak menyadari bahwa agama adalah interaksi nilai-nilai spiritual dengan kondisi yang terjadi. Agama bukanlah sekadar himpunan teori, wacana terpelihara, atau ketentuan abstrak, agama hendaklah dipandang sebagai hukum-hukum yang hidup dalam realitas, di dalamnya terkandung peristiwa dan tujuan yang merupakan intisari pembebanan kewajiban abadi dalam setiap ruang dan waktu.
Dalam perjalanan sejarah ada kaum konservatif yang memandang masa lalu sebagai warisan yang yang di dalamnya terkandung solusi yang cukup memadai bagi seluruh tantangan baru, dengan demikian, menurut mereka tidak ada jalan lagi untuk mengadakan pembaruan dalam urusan agama, kemajuan agama telah terhenti pada usaha ulama salaf, kebebasan ijtihad terhapus di dalam pandangan generasi selanjutnya, dengan demikian, kebebasan azalinya agama telah dibatasi dalam ruang dan waktu tertentu di masa lalu.
b. Gerakan Pembaruan Kontemporer
Masalah pembaruan yang dewasa ini diletakkan dalam bingkai universal yang disebabkan meliputi berbagai aspek kehidupan keagamaan yang memiliki daya tampung yang luas. Masalah pembaruan juga menyentuh prinsip-prinsip perilaku keagamaan tradisional dengan berbagai cabangnya, apalagi jika dihubungkan dengan dengan kenyataan krusial yang didalamnya muncul krisis akibat kontroversi hebat antara pemikiran lama dengan pemikiran baru. Kita telah lama merasakan era kemunduran, kelalaian ruhani, kelambanan akal, dan kedunguan praktek. Jikalau kita bergegas bangun dari kondisi tersbut tentu wacana yang ingin kita kembangkan akan lebih ringan dan rentang waktu yang kita butuhkan untuk mencapainya lebih singkat.
Dalam kenyataannya, masa kemunduran bertambah panjang dan begitu juga dengan sikap statis yang telah mendarah daging, sehingga hampir saja membuat frustasi orang yang ingin melakukan pembaruan dengan sarana-sarana yang ringan. Hal ini disesabkan karena keteguhan status quo dan kurang terkenalnya konsep pembaruan agama. Sesungguhnya syari’at agama, mengajarkan kepada tokoh reformasi dan pembaharu agar memperhatikan bahwa sarana yang paling baik dalam berjuang adalah penggunaan perang argumentasiyang baik dan santun (mujadalah bil-lati hiya ahsan) dan nasehat yang menggugah. Salah satu sebab mengapa proses pembaruan dewasa ini sangat mendesak adalah karena ia menimpa terlalu banyak aspek kehidupan keagamaan yang memerlukan pembenahan dalam waktu lama dan mengundang berbagai cobaan. Salah satu ciri kemunduran agama adalah jika ia tidak dapat memberi solusi atas problem keagamaan yang semakin meluas, mengingat agama merupakan kesatuan yang komplementer yang jika salah satu aspeknya rusak, maka semuanya akan rusak. Dan selama ini pembaruan juga belum muncul, sehingga pengaruh kemunduran terus bermunculan.
Syari’at yang mencerminkan akidah dan menggariskan jalan lurus menuju Allah pasti menjadi ajang ujian terus menerus dan silih berganti. Jika di awal abad syari’at berupaya menghadapi realitas dengan cara memperbarui fiqh, maka pada masa-masa berikutnya gerakan fiqh menjadi lambat, beku da ditaklukan oleh realitas yang semakin jauh berkembang. Di antara buktinya adalah keterlambatan kita dalam pembaruan fiqh atas beberapa aspek yang luas dalam kehidupan dewasa ini. Dalam prinsip iman dan etos kerja, kita menemukan kesulitan untuk menghadapi masalah yang mengepung agama, sehingga timbul alienasi pada saat terjadinya beberapa perkembangan baru. Bukti lainnya adalah bahwa ushul fiqh tradisional dan metode-metodenya mengalami berbagai perubahan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang sarat dengan kebebasan individual sebagai implikasi kehidupan yang serbamaterialistic dan adanya kekurangan kaidah pada masyrakat yang religius.
Pembaruan dewasa ini berikut daya jangkau yang luas lagi menyeluruh, sasarannya yang sangat fundamental dan sarananya yang kuat, tidak mungkin tercapai kecuali dengan jalan kepemimpinan kolektif yang luas demi mencakup segala cita-cita pembaruan dan mampu bangkit dengan berbagai beban program maupun aplikasinya. Oleh karena itu, konsep kolektivisme harus benar-benar bermanifestasi dalam gerakan pembaruan, bukan hanya sekadar menghitung-hitung kuantitasnya. Sesungguhnya banyak upaya reformasi yang mengalami kegagalan karena besarnya massa yang menggantungkan harapan kepada seorang pemimpin yang secara formal diberi amanat dan dipercayai pemikiran-pemikiran maupun kebijakan-kebijakannya. Di samping itu, kebangkitan pembaruan agama bagi umat Islam tidak akan sempurna jika hanya melalui gerakan yang menekankan kewajiban pendidikan iman individual, atau gerakan yang terbatas pada peningkatan kultur teoritis atau gerakan yang menghususkan diri pada upaya-upaya politik dan social umum, atau demi meningkatkan realitas material dan kehidupan yang dijadikan ujian bagi manusia. Akan tetapi, agama baru sempurna dengan keseluruhan gerakan tersebut. Dalam merealisasikan pembaruan, hendaknya mereka menggunakan cara-cara yang sah. Ia tidak boleh menggunakan cara-cara provokatif atau kekerasan revolusi. Namun hendaknya bagi setiap usaha reformasi disediakan cara yang relevan dan bagi setiap kondisi tantangan cara yang sah menurut pandangan agama.
Beberapa ahli agama membatasi pembaruan semata-mata pada upaya menghidupkan spirit keberagamaan dan mereka ragu-ragu terhadapa segala pembaruan yang memperlihatkan bentuk-bentuk maupun hukum-hukum keberagamaan yang elastis. Hal ini mereka lakukan karena mereka takut dianggap sesat dan menyimpang.
c. Pembaruan Ushul Fiqh.
1. Ushul Fiqh dan Gerakan Islam Dalam Realitas Modern
Dewasa ini kita perlu mengkaji kembali ushul fiqh dalam konteks hubungannya dengan realitas kehidupan. Hal ini dikarenakan produk-produk ushul fiqh dalam tradisi pemikiran fiqh kita masih bersifat abstrak dan berupa wacana teoritis yang tidak mampu melahirkan fiqh sama sekali dan justru melahirkan perdebatan yang tak kunjung selesai. Padahal kita tahu bahwa fiqh dan ushul fiqh semestinya berkembang dalam menghadapi tantangan realitas kehidupan modern.
2. KebutuhanKita Terhadap Fiqh Baru
Saat ini urgensi pengembangan pemikiran metodologi ushul fiqh dalam konteks relevansinya dengan kebutuhan masyarakat Islam modern sudah sangat mendesak. Hal ini disebabkan Islam sebagai agama yang dinamis dituntut untuk memecahkan berbagai persoalan modern secara lebih mendalam setelah sebelumnya memfokuskan diri pada prinsip-prinsip agama (ushul ad-din) dan menghasilkan banyak pembahasan masalah cabang (furu’iyah).orang sudah merasa cukup puas dengan masalah-masalah universal yang didakwahkan Islam dan kini mereka menuntut para penyeru Islam memenuhi kebutuhan mereka akan system aplikatif yang bermanfaat bagi terbentuknya masyarakat Islam yang dapat mengatur ekonomi secara mandiri, mensistematisasikan pola kehidupan umum, dan memberikan bimbingan etis dalam masyarakat modern. Di lain sisi perlu memanfaatkan perkembangan ilmu modern.
3. Model Ushul Fiqh Luas Bagi Fiqh Ijtihadi
Dalam bidang ini, yakni kehidupan publik, kita perlu kembali pada nash-nash melalui kaidah tafsir yang pokok, meskipun cara ini belum memadai karena sedikitnya nash. Kita harus mengembangkan metode fiqh ijtihadi yang memiliki kajian luas lantaran terbatasnya nash. Jika dalam persoalan ini kita pergunakan qiyas untuk mengatasi dan memperluas isi kandungan nash, yang digunakan hendaknya bukan qiyas dengan standar tradisional. hal ini dikarenakan qiyas tradisional umumnya tidak mencukupi kebutuhan kita karena ada penyempitan yang disebabkan oleh penggunaan logika formal yang mempengaruhi kaum muslimin ketika terjadi perang peradaban pertama, sebagaimana saat kita terpengaruh oleh pola-pola pemikiran modern. Barangkali keterpengaruhan pemikiran Islam modern atas pemikiran barat saat ini lebih kecil dibandingkan dengan keterpengaruhan pemikiran Islam dahulu atas pemikiran barat lama.
4. Qiyas Terbatas
Pengertian qiyas sebenarnya sangat luas sekali, pengertiannya mencakup makna lepas (‘afwi) dan makna teknis yang harus dipatuhi oleh para ahli fiqh dalam menyamakan hukum cabang dengan hukum asal karena memiliki alasan hukum (‘illah) serupa, syarat hukum asal, hukum cabang dan tujuan hukum. Pola qiyas konservatif ini hanya sebatas menganalogikan peristiwa terbatas dengan peristiwa tertentu yang terbatas di masa lalu. Qiyas semacam ini mungkin cocok sebagai penyempurna prinsip-prinsip tafsir untuk menjelaskan hukum-hukum nikah, adab, dan ritual. Akan tetapi qiyas ini tidak dapat menjawab persoalan dibidang agama yang luas.
5. Qiyas luas
Alangkah baiknya kita memperluas konsep dari qiyas, yakni dengan memperluas qiyas dalam berbagai masalah khusus (juz’iyah) dengan menentukan sekumpulan nash dan mengambil konklusi tentang tujuan atau kemaslahatan agama dari berbagai nash itu. Kemudian kita terapkan dalam berbagai situasi dan peristiwa baru. Nah inilah fiqh yang sangat dekat dengan fiqhnya Umar bin Khatab. Sebab fiqh ini adalah fiqh kemaslahatan umum yang tidak membahas secara terperinci penyesuaian berbagai peristiwa khusus dan kemudian menghukuminya berdasarkan analogi dengan berbagai peristiwa serupa sebelumnya. Akan tetapi ia berangkat dari orientasi perjalanan syari’at awal dan berusaha mengarahkannya pada kehidupan di saat ini.
f. IstishabLuas
Pengertian paling umum tentang tujuan syari’at adalah segala bentuk ibadah kepada Allah yang ditunjukkan oleh akidah, yakni suatu tujuan yang menghimpun sejumlah nash agama. Dalam batas umum yang terendah, kita menemukan universalitas syari’at dan pola pengaturannya dalam kehidupan umum. Akan tetapi kita tidak mendapatkan petunjuk luas didalamnya bagi kemaslahatan, batas pengakuan dan potensinya manakala semuanya itu bertentangan dengan kenyataan kehidupan. Dalam ushul fiqh, kita mengenal dengan adanyaistishab, yang menyatakan bahwa agama tidak diturunkan untuk membangun kehidupan yang seluruhnya baru dan membatalkan semua kehidupan yang sudah ada sebelumnya. Hal ini dikarenakan Rasulullah Saw., tidak menganggap bahwa segala norma yang berlaku sebelumnya dibatalkan, tidak berlaku dan harus dihancurkan untuk membangun agama di atas prinsip yang sama sekali baru. Akan tetapi prinsip yang digunakan adalah bahwa apa yang sudah diketahui manusia dapat diterima, sementara agama diturunkan untuk memperbaiki urusan mereka yang menyimpang.
Kehidupan masa lalu berpijak pada beberapa petunjuk kebenaran yang diwariskan oleh agama-agama sebelumnya atau diperoleh dari naluri manusia. Sementara itu, syari’at terakhir diturunkan untuk menghidupkan apa yan telah dipelajari manusia, meluruskan yang bengkok dan menyempurnakan yang kurang.
d. Prinsip-Prinsip Pedoman Fiqh Ijtihadi
1. Musyawarah dan Kekuasaan
Ketika kita mau menghidupkan prinsip-prinsip luas yang didiamkan oleh fiqh Islam tradisioanl, kita membutuhkan kepastian hasil-hasil ijtihad di dalamnya. Sebab keluasanya melahirkan berbagai madzhab, pendapat dan hukum. Pedoman terpenting untuk mengatur masyarakat Islam dan memenuhi varian itu adalah bahwa dengan kekuasaan kolektifnya, kaum muslim hendaknya menguasai sitem penyelesaian perbedaan dan mengembalikannya pada kesatuan tanpa membiarkan urusan hukum terikat oleh pendapat dan fatwa para ahli fiqh tertentu. Pengaturan itu diselesaikan dengan musyawarah dan pertemuan untuk merundingkan persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan mereka. Bagi orang yang pandai dapat menjelaskannya pada mereka yang kurang pandai dan orang yang kurang pandai menyampaikan persoalannya kepada mereka yang pandai, maka dari sini akan muncul interaksi dan diskusi yang akhirnya dapat mencari jalan keluarnya.
2. Kapabilitas dan Dimensi Ijtihad
Di kalangan kaum muslim terdapat berbagai standar tentang hierarki ilmu lebih sempurna dan derajat perilaku lebih lurus yang mereka gunakan untuk membedakan ahli fiqh dari pemikir lainya serta mengurutkan kedudukan mereka yang relatif untuk diberi otoritas tentang pendapat yang paling berhak diambil ketika terjadi pemilihan pendapat yang lebih kuat. Namun haltersebut menurut sebagian ahli adalah tidak benar, hal ini dikarenakan hal tersebut merupakan sebuah strata yang membedakan peringkat para mujtahid dengan ahli fiqh.
Sesungguhnya kapakapabilitas ijtihad merupakan sejumlah atandar ilmu dan disiplin luwes yang diperuntukkan bagi kaum muslim untuk digunakan dalam menilai kepemimpinan berpikir mereka. Mereka yang punya ilmu yang luas dipercaya sesuai dengan ilmunya. Barang siapa dilihat mempunyai ilmu yang luas dan terpercaya, ia diberi Kepercayaan besar dan dijadikan sebagai penutan yang pendapatnya sangat berpengaruh, sedangkan bagi mereka yang kurang memiliki ilmu dan kurang berakhlak, maka ucapannya didengar dan untuk kemudian diremehkan dan dibiarkan
e. Gerakan Fiqh dari Masa Kejumudan ke Pembaruan
1. Ketakutan Akan Kebebasan Berfikir
Pada dasarnya dimasyarakat kita sekarang ini, mereka sangatlah takut akan kebebasan berijtihad. Banyak orang yang takut ketika berhadapan dengan pendapat baru yang sama sekali berbeda dengan pendapt para ulama salaf, seolah-olah yang diperbolehkan bagi seorang mujtahid hanyalah memilih dan menemukan pendapat lama yang relevan dengan kondisi tertentu atau mengemukakan alasan baru yang menguatkan pendapat ulama salaf tersebut. Padahal ijtihad merupakan sebuah respon atas berbagai tantangan yang berubah-ubah dan kondisi sejarah yang bergerak.
Di era sekarang ini, ketika kejumudan cukup lama dan ijtihad disia-siakan, maka seharusnya kita mendukung dengan sepenuh hati upaya pembaruan sebagai upaya menutup kekurangan itu. Dengan demikian, kita memberikan keseimbangan reaksi kaum konservatif yang mengurung pembaruan, mencurigainya dan membawanya seperti kampanye yang dihadapi oleh Ibnu Taimiyah. Upaya melakukan ijtihad dewasa ini menuntut keberanian berpendapat dan kekuatan kesabaran dalam menghadapi tekanan kaum konservatif, terutama dalam memandang bahwa pembaruan adalah luas sekali dan hampir membentuk sebuah revolusi fiqh yang menyesuaikan masalah pokok (ushul) dengan masalah cabang (furu’) serta mengusahakan perubahan kondisi dengan cepat.
2. Moderasi atau Progresi
Kaum muslimin pada masa kejumudan lebih memusatkan diri pada konsep-konsep konservatif secara berlebihan. Kehidupan beragama pada masa kemunduran selalu mengalami kerugian dalam pelaksanaan agama dan kehidupan duniawi, di mana wilayah-wilayah kaum muslim berada di dalam tangan negara kafir. Para pemuka agama pada waktu itu tidak berambisi mengajak manusia untuk maju dalam kehidupan duniawi, seruan mereka adalah mengajak pada kondisi status quo dengan berbagai jargon “Peliharalah sisa-sisa agamamu ..! berhati-hatilah pada kejahatan yang menghawatirkan! Berhati-hatilah pada segala sesuatu yang baru, sebab hal itu akan melahirkan bid’ah! Keselamatan ada di belakangmu dan bahaya menghadang di depanmu”. Jargon-jargon yang semacam itu, tak pelak lagi menjadi salah satu sebab kemunduran Islam. Untuk itu, jika anda menginginkan seseorang mundur, maka ingatkanlah dia akan rasa takutnya. Jika anda menginginkan dia maju, maka bangkitkanlah harapannya kepada Allah. Rasa takut dan harapan adalah dua cabang iman yang saling melengkapi.
Tidak ada aturan yang disyari’atkan Allah atau dibuat oleh penguasa yang mewajibkan kaum muslim untuk berpegang pada madzhab-madzhab tertentu. Akan tetapi, kaum muslim sendiri justru menerima hal itu sebagai kebiasaan yang tak diperintahkan.

[1] Hasan al-Turabi, Fiqih Demokratis, terj.Abdul haris dan Zimul Aim, Jakarta, Arasy, 2003, h. 11
[2] Hasan al-Turabi, Qadaya al-Tajdid: Nahwu Minhaj Usuli, Ma’had lil Buhus wa al-Dirasah al-Ijtima’iyyah, t.t, h. 80