Minggu, 31 Mei 2020

Andai Saya Jadi Penulis


Oleh: Taufik Pradana
(Kolomnis yang Humanis, Romantis tapi Tidak Komunis)

Begitu sedapnya jika saya bisa jadi penulis atau jurnalis atau bahkan menjadi lawan cumbu Pevita Pearce, karena kebetulan mimpi tidak dipungut biaya, maka teman-teman perlu banyak tidur agar banyak pula mendapat mimpi. Bicara-bicara tentang mimpi menjadi penulis, adalah hal yang sangatlah sulit jika dilihat kacamata newbie seperti saya, maklum, cuma bisa bikin caption feed di Instagram, itupun 3 bulan sekali.

Pribadi saya memandang para penulis memiliki petuah yang sama powernya dengan Pak Luhut Binsar Panjaitan, bisa banget gocek pikiran orang dengan kedigdayaannya. Penulis bisa menuangkan ide, opini, ulasan bahkan kritik tanpa harus lelah cuap-cuap. Lebih dalam lagi, berekspresi lewat tulisan di social media sangat mungkin untuk menghasilkan engagement dan validasi dari wanita rupawan pegawai kantor di Sudirman, ‘Ihh kamu yang nulis Esai di Mojok.co yaa, kencan yuk!’ seperti itu jadinya jika angan saya jadi nyata. 

Ini yang kemudian memantik jiwa doyan ngomong saya agar bisa menuangkannya lewat media tulisan, bawel di tulisan agaknya lebih terlihat elok jika dibanding bawel omongan, apalagi omong kosong. Hal lain yang menyubit ulu hati saya adalah ketika saya tahu bahwa tulisan busa jadi cuan, wah ini alasan konkret, sahih dan tidak terbantahkan agar saya segera mencoba menulis.

Yang paling penting, saya bisa mewujudkan bayangan saya tentang penulis berdasarkan meme yang pernah saya lihat dimana para penulis bekerja diatas meja yang hanya ada Hot Chocolate, Macbook, dan asbak yang berpasangan dengan sebungkus rongkok, berpadu padan dengan singlet dan boxer kebanggaan, memandangi layar Macbooknya, sedikit mengetik banyak sruput nya, Seakan profesi menulis adalah profesi yang membutuhkan minimum effort namun menghasilkan maksimum result, Menakjubkan bukan? Semakin santai penulis, maka semakin cerah ide dan pikirannya. Tapi, itu kan cuma perwujudan bayangan saya.

Ditengah Pandemi Covid-19 ini saya jadi nolep yang kerjanya cuma horizontal body battery-saving mode, misuh-misuh, scroll ig - home - wa - home, makan dan kasih makan cacing sampai bobotnya 6.252.569, gitu aja terus. Tapi, entah dapat wangsit darimana, nyasarlah saya ke akun Mojok.co yang sebenarnya sudah saya follow sejak Young Lex baru punya 1.000 followers,  dari situ jiwa kepedean saya berkata “Tulisan pertama gue akan naik di Mojok.co, nama gue dimuat dibawah judul, gue screenshot lalu bikin instastory yang isinya screenshot tadi dengan caption : ‘Jadi penulis itu easy-easy hard, silahkan baca esai saya tentang menulis’. Ahh bukan main “. 

Cerita selanjutnya sudah bisa di spoiler bahwa saya memberanikan diri untuk mengirim tulisan saya ke media resmi untuk pertama kali, berharap dapat gaji untuk beli paketan Netflix dan omongan pemerintah, Ehh.

Jadi, penting untuk saya sampaikan, jika tulisan ini naik tayang di Mojok.co, ini adalah achievement pribadi yang akan sangat saya banggakan dan sombongkan, karena sombong adalah passion saya, semua buktinya akan saya jadikan portofolio, dan kelak akan saya ceritakan pada anak cucu saya, agar terlihat keren dan feeling good banget. Apalagi jika anak cucu saya tahu bahwa tulisan ini selesai hanya dalam 16 menit 28 detik, cukup singkat dan bahkan lebih singkat dibanding video Cover lagu Aku Cah Kerjo oleh Trio Kwok Kwok featuring Manda di Youtube. 

Selain menjadi achievement pribadi, tulisan ini juga bisa dijadikan ayat pembimbing  agar teman-teman mendapat motivasi untuk memulai menulis. Jika saya bisa, bisa dipastikan bahwa anak cucu saya, kalian bahkan Agoy Jakarta Timur juga pasti bisa!
hh, sungguh paripurna mimpi saya kali ini.

Bagian paling serius dalam tulisan ini adalah tentang kepercayaan saya bahwa menulis adalah obat dari segala keresahan. Salah satu cara untuk ngehealing jiwa yang semrawut disantap dunia yang arogan. Sungguh, tumpahkan segala keluh dan kesahmu, walaupun kosakatamu masih layaknya katak dalam tempurung.